Tidak semua orang memiliki cerita inspiratif. Namun, seseorang yang takpernah berhenti berjuang tentu memilikinya. Naren, begitu ia akrab disapa oleh orang-orang di sekitarnya, adalah salah satu orang tersebut. Narenda Wicaksono, nama lengkapnya, adalah tokoh kunci di balik berdirinya Dicoding sebagai salah satu platform pembelajaran teknologi di Indonesia.
Selama hidupnya, ia takpernah menyerah atau berhenti mengejar sesuatu yang diinginkannya. Dalam perjalanan kariernya, bukan materi yang dikejar, melainkan usaha untuk menyebar kebaikan dan membangun harapan, khususnya bagi para talenta digital di Indonesia. Berikut adalah cerita inspiratif darinya yang kami rangkum.
💻 Mulai Belajar Pemrograman
Belajar pemrograman di Dicoding Academy dan mulai perjalanan Anda sebagai developer profesional.
Daftar SekarangAwal Mula
Pada masa kanak-kanak menuju remajanya, tidak banyak orang di sekitarnya yang mengenal apalagi menguasai teknologi. Namun, Narenda sudah mengenali bahwa teknologi adalah hal penting yang harus dikuasainya agar dia bisa menciptakan sesuatu yang bermakna.
Sejak Kecil Gemar Teknologi
Cerita inspiratif seorang Narenda Wicaksono bermula ketika ia dibelikan komputer oleh Bapaknya saat SMP, sekitar tahun 1996. Itu adalah Macintosh Classic yang ukurannya cukup kecil. Tidak banyak orang yang memiliki koneksi internet pada saat itu. Namun, Narenda berhasil menjadikan komputernya terkoneksi dengan internet.
Ini semakin menarik ketika ia berhasil menggunakan komputer tersebut untuk hal-hal yang disenanginya. Salah satunya adalah sepak bola. Sebelum memiliki komputer, Narenda harus membeli tabloid Bola untuk mengetahui hasil pertandingan favoritnya, Liga Italia. Itu pun baru terbit sekitar lima hari sesudah pertandingan.
Dengan adanya internet, Narenda bisa mengetahui hasil pertandingan secara langsung dalam jaringan. Teman-temannya pun terkesima dengan hal tersebut. Maklum, pertandingan Liga Italia tidak digemari olehnya saja, tetapi juga teman-temannya.
Sejak itu, Narenda memahami bahwa internet bisa digunakan untuk berbagai hal. Ia pun semakin tertarik untuk mendalami bidang teknologi informatika. Dalam benaknya, tertanam tekad untuk belajar dan menempuh kuliah pada bidang yang diminatinya tersebut.
Keinginan Mengembangkan Aplikasi
Semangatnya untuk belajar teknologi takpernah surut karena ambisinya untuk mengembangkan aplikasi. Cerita dia berbeda dari anak-anak semasanya. Ia mengambil jalan berbeda dan bukan yang paling populer pada saat itu.
Sejak kecil, Narenda sudah berhasil membuat situs web sendiri. Ia pun konsisten mengembangkan banyak produk dan aplikasi. Hal itu merupakan sebuah kemampuan yang jarang ditemukan pada masanya dan tentu inspiratif.
Ia sangat ingin tahu lebih banyak tentang teknologi. Namun, ternyata tidak mudah untuk belajar teknologi informatika secara mandiri. Oleh sebab itu, Narenda mempertahankan keinginannya untuk berkuliah di jurusan tersebut.
Oase
Takpernah ada jalan kehidupan yang mulus tanpa hambatan. Berbagai rintangan pun pernah menghadang Narenda Wicaksono. Namun, Narenda tidak melihat itu sebagai batu besar yang menghalangi jalannya. Justru, ia menganggap itu sebuah kesan yang berharga.
Sesekali, ia malah menganggap itu sebuah oasis, pengalaman menyenangkan di tengah-tengah kehidupan yang terkadang pelik. Inilah yang membuat kisah hidupnya pantas dijadikan cerita inspiratif.
Kegagalan sebagai Motivasi
Banyak sekali produk dan aplikasi yang dikembangkannya membuat Narenda kesulitan ketika ditanya, “Apa produk yang pertama kali dibuat?” Namun, ada satu produk yang meninggalkan cerita mendalam bagi dirinya.
Pikirannya terbawa mundur pada tahun 2006, ketika ia mengikuti sebuah ajang perlombaan teknologi bergengsi di dunia, yang digelar oleh Microsoft. Imagine Cup, itulah namanya. Pada saat itu, Imagine Cup menyongsong tema “Imagine a world where technology enables us to live healthier lives.” Tema itu mendorong para pengembang muda di seluruh dunia untuk membuat produk teknologi sebagai solusi atas masalah-masalah kesehatan.
Narenda membawa cerita kalau saat itu belum ada jam tangan pintar seperti sekarang yang bisa mendeteksi detak jantung. Sementara, sejak dulu penyakit jantung adalah pembunuh nomor satu di dunia. Jadi, ia memikirkan solusi yang tepat untuk mencegah penyakit itu.
“Sebenarnya, jantung itu ‘kan meskipun bekerja secara konsisten, tetap perlu olahraga, begitu. Jadi salah satunya, yang bisa membuat jantung kita sehat itu dengan aerobik. Aerobik itu bisa lari, bisa sepeda, bisa berenang.
Nah, kita melihat agar jantung bisa berlatih, itu heart rate-nya harus berbentuk parabola.” Begitu terangnya. Narenda menjelaskan dengan sangat bersemangat. Maklum, ia pun tertarik pada olahraga, salah satunya berlari.
Narenda menerangkan bahwa untuk menjaga agar grafik detak jantung berbentuk parabola, perlu ada intervensi saat berolahraga. Sebab, ini juga berdasarkan teori bahwa detak jantung yang melampaui batas atau grafiknya terus meningkat bisa berbahaya.
Ia pun bersama teman sejurusannya merancang peranti lunak yang bisa memperdengarkan musik sesuai dengan irama detak jantung. Jadi, tidak hanya berupa notifikasi. Bahkan, untuk membuat rancangannya semakin tepat guna, Narenda menggandeng temannya yang berasal dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran.
Sayangnya, meskipun berhasil mewakili Indonesia ke tingkat dunia, Narenda dan timnya belum berhasil menjadi pemenang di kancah global. Namun, karyanya tetap patut diapresiasi. Bayangkan, pesaingnya di Indonesia ada 149 tim.
Di dunia, ia dan timnya bersaing bersama 65,000 peserta lainnya. Akhirnya, di India, ia bertemu 181 orang lainnya yang dikelompokkan dalam 72 tim. Bagi beberapa orang, tentu itu bukan hal yang mudah. Tak semua orang bisa mendapatkan kesempatan tersebut.
Meskipun belum menjadi pemenang di tingkat dunia, Narenda tidak pernah merasa sedih dengan hasil tersebut. Ia menjadikan pengalamannya itu sebagai sebuah pelajaran berharga. Ia menganggap kurangnya kemampuan berbahasa Inggris pada saat itu menjadi salah satu sebab kekalahannya. Dari sana, ia termotivasi untuk belajar lebih giat dan mengembangkan produk dengan lebih baik lagi.
Ada satu hal yang disayangkannya, bahwa ia tak sempat mengembangkan rancangan tersebut. Apalagi setelah melihat produk-produk teknologi untuk kesehatan seperti jam tangan pintar pada masa kini. Namun, ia berujar, “Ya sudah, memang hidup ini ‘kan, kita mau bikin penyesalan atau nggak, pilihannya.”
Talenta Digital yang Menginspirasi
Kemenangan Narenda dan timnya di Indonesia sebagai wakil bangsa dalam Imagine Cup, mengantarkannya pada jalan hidup yang sudah dirancang apik olehNya. Sebuah lowongan kerja di Microsoft pun ia lamar saat itu.
Lagi-lagi, meskipun ia berhasil memulai kariernya dengan menjadi karyawan di Microsoft, bukan berarti hal tersebut populer pada zamannya. Ia melihat teman sejurusannya lebih banyak yang menjadi Management Trainee daripada seorang developer.
Namun, meskipun dunia teknologi tidak semewah dan semasif saat ini, Narenda takpernah menyurutkan minatnya. “Di situlah saya bisa punya kesempatan untuk terus mengembangkan kapabilitas saya dan hal-hal yang saya pelajari di kuliah,” begitu jelasnya.
Di Microsoft, Narenda masuk dalam divisi Developer and Platform Evangelism. Ia menjelaskan bahwa divisi tersebut bertugas mengedukasi developer dengan teknologi-teknologi terbaru dari Microsoft.
Sepanjang kariernya di divisi tersebut, ia perlahan memahami kebutuhan para developer di tanah air, mulai dari yang muda hingga yang tua. Mulai dari yang masih duduk di bangku sekolah hingga yang sudah mahir sampai karyanya mendunia.
Narenda mendengarkan berbagai keluhan dari mereka dan selalu memotivasi agar bisa memaksimalkan potensi dalam bidang teknologi. Namun, tak sedikit dari para developer di Indonesia yang masih terkendala jarak, komunikasi, serta kurangnya ilmu untuk dipelajari lebih dalam. Jadi, tidak hanya memotivasi, Narenda juga termotivasi oleh mereka.
Belum lagi ada pernyataan dari riset yang dikeluarkan oleh Bank Dunia bersama Kementerian Keuangan (2015) menyatakan bahwa kebutuhan terhadap talenta digital di Indonesia sebanyak 9 juta sampai tahun 2030. Bila diratakan, per tahunnya Indonesia butuh sekitar 600 ribu.
Sayangnya, kebutuhan tersebut masih belum terpenuhi. Ada rentang jumlah yang jauh untuk memenuhi itu. Perguruan tinggi bidang teknologi informatika di indonesia setiap tahunnya hanya menghasilkan kurang lebih 180 ribu lulusan.
Narenda merasakan bahwa kebutuhan tersebut memang benar adanya. Namun, saat itu ia dihadapkan oleh dua pilihan: menjadi developer relation di tingkat regional Asia Tenggara atau keluar dari Microsoft tanpa kepastian karier. Jika orang lain yang ada di posisinya, belum tentu akan memilih pilihan kedua.
Berbekal tekadnya untuk membangun developer Indonesia dengan dampak yang lebih luas dan jangka panjang, Narenda memutuskan keluar dari Microsoft. Banyak developer yang dijumpainya menjadi energi baginya. Ia ingin bisa menciptakan lebih banyak lagi talenta digital yang cemerlang dan memperluas peluang akses teknologi bagi banyak orang.
Rasa Syukur yang Tak Henti
Sampai saat ini, Narenda merasa bersyukur dengan usaha yang dikembangkannya. Baginya, materi bukanlah hal utama yang ia kejar. Namun, menyebar kebermanfaatan seluas-luasnya adalah tujuan utama dalam hidup yang ingin dicapainya.
Itu juga menjadi alasan utamanya mempertahankan Dicoding, platform pembelajaran teknologi yang telah dibangunnya sejak tahun 2015. Padahal, sebelum Dicoding ada banyak perusahaan yang telah didirikannya.
Berkarier untuk Narenda bukan sekadar ingin bekerja atau mendirikan usaha dengan banyak karyawan, tetapi tentang rencana jangka panjang. Rencananya sendiri adalah meninggalkan hal-hal baik di dunia untuk menjadi amal jariyah. Ini tentu salah satu cerita inspiratif yang dapat diambil darinya.
Untuk beberapa orang, keputusan Narenda meninggalkan kariernya di perusahaan multinasional tentu adalah pengorbanan yang sangat besar. Banyak yang meragukan dan mempertanyakan keputusannya saat itu. Namun, ia mengakui bahwa growth mindset sangat membantu untuk lebih bisa berani dalam pengambilan keputusan.
Narenda tidak pernah menganggap pengorbanan yang dilakukannya sebagai sebuah kerugian, tetapi justru sebuah investasi. Itu adalah salah satu bentuk prasangka baik kepada Tuhan yang selalu diamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
“Ya, intinya kalau kita berprasangka baik terhadap apa pun yang kita hadapi, kita jadi enak hidup. Bukan berarti nyantai, ya. Tapi kita jadi lebih banyak bersyukur, jadi tenang. Karena, apa yang kita lihat nggak baik itu jangan-jangan itu baik buat kita, kita saja yang tidak tahu. Dan itu, kerasa banget,” ujarnya.
Perjalanan
Dicoding adalah salah satu titik penting dalam perjalanan hidup Narenda Wicaksono. Selama delapan tahun, ia membangun Dicoding dengan semangat meningkatkan literasi digital yang aksesibel bagi semua orang. Selama itu pula, cerita inspiratif darinya berlanjut.
Membangun Dicoding
Bagi Narenda, membangun Dicoding adalah sebuah perjalanan yang selalu berkesan dalam hidupnya. Ia menghargai setiap hal kecil yang ada di dalamnya. Sebagai seorang pemimpin, ia selalu mensyukuri setiap halangan dan rintangan yang dihadapinya.
Selama ini, Narenda selalu mengharapkan yang terbaik untuk timnya. Ia tak pernah merasa kecewa jika ada karyawan terbaiknya pergi dan meninggalkan Dicoding. Malah, Narenda selalu berdoa supaya ia bisa lebih sukses.
Namun, banyaknya yang bertahan juga membuat Narenda merasa bahagia. Baginya, kebahagiaan orang-orang yang berada dalam tim adalah salah satu hal paling utama di samping kepuasan konsumen. Ia pun merasa dihargai ketika timnya mendapat apresiasi dari pihak lain. Bahkan, untuknya, keberhasilan dirinya pun adalah keberhasilan tim.
Harapan untuk Dicoding
Dicoding sekarang bertambah besar dan tentu Narenda menyadari akan semakin banyak tantangan yang dihadapi. Narenda tidak mengharapkan Dicoding sekadar dilihat sebagai perusahaan “keren”, mempunyai kantor yang besar, dan memiliki banyak karyawan.
Lebih dari itu, ia selalu berharap Dicoding bisa mencetak lebih banyak talenta digital yang relevan dengan kebutuhan industri. Dengan begitu, dampak yang dihasilkan bisa lebih masif. Untuk mencapai itu, katanya, tentu inovasi-inovasi harus selalu dilahirkan.
Narenda pun ingin Dicoding dilihat sebagai harapan. Dia ingin supaya Dicoding bisa memberikan banyak orang harapan tentang kehidupan yang lebih baik, menghasilkan produk-produk yang lebih hebat dan inspiratif, hingga masa depan yang lebih maju.
“Bagi saya, being the greatest is not necessary have to be the biggest. Orang selalu berpikir tentang the biggest, punya kantor yang luas, punya karyawan yang banyak, punya segalanya, no. I’m thinking of become the greatest. Greatest tuh bukan kayak kita yang paling hebat, tapi kayak “di sini saya melihat harapan”. Itu yang saya inginkan. Jadi kayak mereka willing untuk support, willing untuk learn, willing untuk everything-lah, yang bisa dilakukan untuk mewujudkan harapan-harapan,” tutupnya mengakhiri cerita inspiratif ini.